Rabu, 12 Februari 2014

My Old Man

A little bit story about my old man...

My old man it's only a man in my life right now. Posisinya belum diberikan Allah untuk tergantikan saat ini.

Seorang ayah akanlah selalu istimewa untuk putrinya. Akan ada sesuatu dari seorang pria yang ia pilih untuk menjadi pendampingnya kelak adalah inspirasi dari ayahnya. :)

Tapi kali ini, saya tidak akan bercerita tentang inspirasi untuk pendamping masa depan. Tetapi hanya bercerita tentang seorang ayah dan saya.

Ayah saya kini usianya telah 60 tahun. Terkesan tua ketika dilihat dari angka. Tapi jangan salah, ketika orang-orang melihatnya, orang-orang tidak akan menilai beliau setua itu. Selain memang mukanya yang terlihat lebih muda dari usianya, alias baby face, gayanya pun tidak terlihat tua. Di usia setelah masa pensiunnya, ayah saya masih gemar mengenakan celana jeans dan kemeja kotak-kotak. Cukup stylish bukan?

Punya ayah yang terlihat 'berjiwa muda' sebenarnya cukup menyenangkan. Ayah kita tidak akan terkesan tua oleh permasalahan kita. Dengan kata lain tidak dibuat banyak pikiran. Terlihat menikmati hidupnya. 

Jalan berdua dengan ayah pun terkadang saya lakukan. Entah hanya untuk membeli sesuatu atau hanya ke suatu tempat. Sehubungan saya anak bungsu dan belum menikah, maka jika butuh sesuatu, ayah akan meminta saya untuk mengantarnya. Ataupun saya diantar oleh ayah saya.

Ketika berjalan hanya berdua dengan ayah saya, kadang terasa sedikit 'aneh' buat saya. Hal ini terkadang muncul dari cara pandang orang lain terhadap saya dan ayah saya. Seolah-olah mereka itu menerka-nerka saya itu anaknya atau istri mudanya. Menyebalkan.

Ketika berada di suatu toko yang pernah saya kunjungi bersama ayah saya, dan kebetulan saat itu ayah saya tidak ikut. Saya ditemani ibu saya saat itu. Tiba-tiba penjaga tokonya berkata, "Mbak, Aa-nya ga ikut?"

Saya sedikit terperangah dan berpikir Aa yang manakah itu. Ternyata ibu saya pun sedikit kaget dan berpikir dengan siapa saya pernah ke tempat ini.

"Ohh... Itu sih Aa-nya yang ini." Sahut saya begitu teringat pernah diantar siapa ke toko ini seraya menunjuk ibu saya.

"Ohh bapak..." Ibu saya berseloroh.

"Ohh bapaknya." Mbak penjaga toko berseloroh juga.

Saya jadi kepikiran setelah kejadian itu, apakah saya yang terlihat ketuaan. Soalnya usia saya dan ayah saya berbeda 30 tahun. Usia yang pas antara ayah dan anak. Tapi kenapa masih ada orang yang suka mengira-ngira tidak penting begitu. Toh, masih banyak yang suka mengira saya masih anak kuliahan. Hehehe...

Gara-gara beberapa peristiwa seperti di atas, saya jadi terpikir untuk mencari pendamping hidup yang tidak terlihat 'tua'. Simpel sih maksudnya, biar orang-orang ga ketuker mengira-ngira yang mana ayah saya, yang mana suami saya. Hehehe... ***




Senin, 10 Februari 2014

Masa Lalu, Sekarang, dan Akan Datang

Beberapa hari yang lalu, saya dan ibu terlibat dalam pembicaraan flashback. Kita membicarakan sesuatu yang terjadi beberapa tahun lalu dan lebih tepatnya bukan tentang saya sendiri.

Sebenarnya cerita ini lebih ke ibu dan kakak saya tentang seseorang yang pernah hadir dalam kehidupan kakak saya. Sesosok pria ini punya masa lalu, masa lalu yang bisa dikatakan kurang baik. Meski itu hanya satu peristiwa.

Mungkin bagi sebagian keluarga yang lain, hal itu akan menjadi masalah untuk menerima sesorang menjadi menantunya. Tapi saya bersyukur, keluarga saya mempunyai kelapangan dalam melihat suatu peristiwa. Mereka tidak sebegitu saja menentang tetapi lebih mengembalikan pada yang menjalani.

Kalau menurut ibu saya, "Ga terlalu masalah lah masa lalunya seperti apa. Bagi ibu, yang penting sekarang dianya kayak gimana."

Hal ini saya terjemahkan dalam akun twitter dan status saya menjadi  :
 
Mom said: Seperti apapun masa lalunya, yang terpenting itu sekarang (dan akan datang) seperti apa.

Ya.., pada akhirnya ketika mereka tidak berjodoh ya bukan karena masa lalu itu tetapi lebih karena memang bukan jodohnya dan kebetulan ada sikap pria itu di masa sekarang yang kurang berkenan untuk orang tua saya.

Saya selalu percaya bahwa orang tua saya cukup bijaksana menilai seseorang. Tidak terlalu disibukkan dengan bibit, bebet, bobot tetapi lebih kepada sifat dan sikap yang bersangkutan. Lebih melihat apa yang terjadi sekarang, yang paling mungkin untuk mempengaruhi masa depannya dan masa depan kita juga.

Saya pribadi pun lebih melihat masa lalu itu sebagai kenangan, sebagai pembelajaran buat kita pribadi ataupun orang lain. Terkecuali masa lalu itu fatal dan akan sangat mempengaruhi untuk masa depan, maka akan perlu sebuah kajian dan diskusi mendalam.

Saya pribadi suka merasa kagum dan hormat terhadap seseorang yang akhirnya memilih hijrah pada jalan kebaikan. Memilih memperkuat iman dan takwa-nya meski harus meninggalkan sesuatu yang 'bergemerlapan' di masa lalunya. Ia mantap memilih yang lebih baik.

Setiap orang punya masa lalu masing-masing. Meskipun itu adalah pilihan masing-masing pribadi. Namun yang terpenting saat ini adalah bagaimana kita menyikapinya. Bagaimana menjadikannya pembelajaran. Bagaimana kita akan mengukir masa depan. Bersyukurlah ketika hal yang buruk itu kemudian Allah gantikan dengan sesuatu yang berkali-kali jauh lebih baik. Jagalah kebaikan itu.

Kalau menurut suatu pepatah, lebih baik jadi mantan penjahat daripada jadi mantan ustadz. ***